Short Story (Creative Writing)

Lost Beyond the Guava Tree

Written by Ani Nasrun


Kedua kakak beradik itu duduk di meja makan, masing-masing dengan piring kosong di depan mereka. Mereka memandang Ayah dan Ibu yang saling bertukar pandang dengan wajah serius. Seluruh ruangan terasa sunyi, hanya suara jam dinding yang berdetak pelan, menciptakan ketegangan yang samar.


“Mika, Isa…” Ayah membuka percakapan, suaranya terdengar lembut tapi tegas. “Kami ada kabar penting yang harus kalian tahu,”


Isabella, gadis cantik berusia 13 tahun dengan rambut sebahu, yang selalu ingin tahu, langsung menyipitkan mata curiga. “Ada apa? Jangan bilang kalau kita harus pindah lagi? Aku baru saja betah di sekolah baruku.”


Ibu tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala. “Bukan itu, Nak. Sebenarnya, Ayah dan Ibu akan sangat sibuk dengan pekerjaan selama dua minggu ke depan. Kami harus menyelesaikan proyek besar yang benar-benar membutuhkan perhatian penuh.”


“Jadi… kami harus tinggal sendiri?” Mikael, 12 tahun, bertanya dengan nada campuran antara harapan dan kekhawatiran. Pikiran tinggal sendiri di rumah terdengar menakutkan sekaligus menarik baginya.


Ayah tersenyum kecil, sambil menggelengkan kepala. “Tidak, kalian tidak akan tinggal sendiri. Kami akan membawa kalian ke rumah nenek di desa selama kami bekerja. Kalian akan menghabiskan liburan di sana.”


“Ke rumah Nenek?” Mikael melontarkan ekspresi terkejut. “Di desa yang jauh itu? Tapi di sana bahkan sinyal ponsel aja susah!”


Isabella ikut mendesah. “Ayah, Ibu… dua minggu di sana akan terasa sangat lama. Di desa Nenek itu, nggak ada apa-apa selain bukit dan ladang. Kami bahkan nggak kenal orang-orang di sana.”


Ibu menatap kedua anaknya dengan penuh kasih. “Kami tahu ini mungkin bukan rencana liburan yang kalian bayangkan. Tapi percayalah, kalian akan baik-baik saja. Desa nenek memang sederhana, tapi alam di sana indah dan penuh ketenangan. Lagipula, sebentar lagi akan ada perayaan disana, kalian akan menyukainya.”


“Dan kalian berdua kan sudah besar,” tambah Ayah. “Kami percaya kalian bisa menikmati waktu di sana, bahkan mungkin menemukan hal-hal baru.”


Mikael mendesah pelan, tapi akhirnya mengangguk. Ia tidak bisa menolak saat melihat raut wajah Ayah dan Ibu yang benar-benar mengharapkan pengertian darinya.


“Baiklah…” ujarnya dengan nada pasrah. “Tapi kami bisa tetap menelepon, kan? Kalau kami butuh sesuatu?”


“Tentu saja, Nak,” jawab Ibu sambil tersenyum, menepuk bahu anak bungsunya. “Tapi, kami yakin kalian akan baik-baik saja di sana. Kalian akan bersama Nenek, dan dia akan senang sekali bisa menghabiskan waktu bersama cucu-cucunya.”


Hari keberangkatan mereka pun tiba. Perjalanan ke desa Nenek memakan waktu beberapa jam dengan mobil, melewati jalan-jalan berliku yang diapit sawah dan kebun. Desa itu tampak damai namun asing bagi mereka, seolah-olah waktu berhenti di sana. Rumah Nenek berdiri di ujung desa, sebuah rumah kayu yang dikelilingi kebun bunga dan pohon-pohon besar yang menaungi halaman.


Nenek menyambut mereka dengan hangat di depan rumah. “Isa! Mika! Kalian akhirnya datang juga!” Nenek memeluk mereka satu per satu dengan erat.


Meski merasa sedikit canggung, Mikael dan Isabella tersenyum dan membalas pelukan Nenek. Setelah menurunkan koper dan berbincang sejenak, orang tua mereka pun berpamitan.


“Jaga diri baik-baik ya,” pesan Ibu sambil mengecup kening kedua anaknya. “Dua minggu akan cepat berlalu, dan Isa, simpan ini.” Ucap sang ibu sambil menyerahkan sebuah kalung cantik berbandul bulat dan dihiasi mawar. 


“Tiba-tiba sekali, dalam rangka apa?” Balas Isa dengan penasaran. Seingatnya hari ulang tahunnya masih lama.


“Kau berhasil menang Olimpiade Matematika sayang, itu hadiahmu.” Mendengar penjelasan ibunya, wajah Isabella menjadi bersemangat dan langsung memakainya tanpa lupa berterima kasih kepada ibunya.


“Dan jangan buat Nenek kewalahan dengan ulah kalian, ya.” tambah Ayah sambil tertawa kecil, mengedipkan mata pada mereka.


Mikael dan Isabella tertawa kecil, berusaha menyembunyikan kegelisahan di balik senyum mereka. Mereka melambaikan tangan saat mobil Ayah dan Ibu beranjak pergi, meninggalkan debu yang beterbangan di jalan desa yang berdebu. Kini, tinggal mereka bertiga di rumah itu. Adik kakak itu saling berpandangan sejenak sebelum Isabella berbisik, “Yah, sepertinya kita benar-benar terjebak di sini.”


Nenek yang mendengar mereka hanya tertawa kecil. “Jangan khawatir, kalian akan betah di sini. Desa ini mungkin kecil, tapi penuh dengan hal-hal menarik—siapa tahu, kalian akan menemukan sesuatu yang tidak kalian duga.”


Tanpa menghiraukan ucapan nenek, mereka pun memutuskan untuk masuk dan beristirahat setelah perjalanan panjang. 


────༻ ༺────


Pagi yang cerah menandai hari baru di desa. Kicauan burung-burung liar di pepohonan membangunkan Mikael dari tidurnya. Udara pagi yang sejuk masih menyisakan dingin semalam, tetapi Mikael segera bangun dan bersiap, menepis sisa kantuk di wajahnya. Selesai mandi, ia memilih kemeja panjang dengan motif kotak dan celana pendek untuk dikenakan, lalu suara lembut neneknya memanggil dari dapur.


"Mika, sarapan sudah siap!"


Mikael berjalan menuju dapur dan mendapati Isabella sudah lebih dulu di sana, membantu nenek menyiapkan sarapan. Nenek memasak hidangan sederhana, tetapi penuh cita rasa yang khas pedesaan. Di atas meja, terhidang sepiring nasi liwet dengan lauk ikan asin, sayur asem, dan sambal terasi, makanan khas yang belum pernah Mikael cicipi sebelumnya.


“Ayo, coba, Nak,” kata Nenek sambil tersenyum hangat. “Ini masakan tradisional, Nenek yakin kamu suka.”


Mikael ragu sejenak, lalu mengambil sedikit nasi dan lauk, mencicipinya perlahan. Rasa gurih dan pedasnya langsung menghangatkan tubuh, dan ia tersenyum senang.


“Enak, Nek! Rasa makanannya beda dari yang biasa Mika makan di rumah,” ujarnya sambil menyuap lagi dengan lahap. Nenek hanya menanggapinya dengan tertawa kecil sambil terus mengisi piring cucunya.


Setelah sarapan, Mikael dan Isabella berkeliling rumah, bingung mencari hiburan. Tanpa televisi, dan bahkan tanpa sinyal ponsel, hari itu terasa begitu tenang namun sepi. Melihat kedua cucunya yang tampak bingung, Nenek datang menghampiri. “Kalau kalian bosan, ikut Nenek saja ke sawah. Kita bisa menanam padi bersama,” katanya sambil tersenyum penuh semangat.


“Bukankah baru saja musim panen nek, kenapa sudah menanam kembali?” Isabella bertanya, karena setahunya baru tiga hari yang lalu ia mendengar dari ibunya bahwa neneknya baru saja memanen.


“Sebentar lagi akan ada Seren taun, dan di desa ini sawah harus sudah terisi kembali sebelum perayaan panen itu dimulai.” Jelas nenek sambil dibalas anggukan oleh Isabella.


Di ujung bukit desa, hamparan sawah menanti untuk ditanami. Mikael dan Isabella berdiri canggung di pinggiran sawah, melihat nenek mereka masuk ke pematang dan mulai menanam dengan posisi mundur. Mikael yang penasaran akhirnya bertanya, “Nek, kenapa harus mundur? Bukannya lebih mudah kalau kita maju?”


Nenek tersenyum, lalu menjelaskan, “Menanam sambil mundur itu agar kita tidak menginjak benih yang sudah ditanam, Nak. Kalau maju, kalian bisa merusaknya tanpa sengaja.”


Mendengar penjelasan nenek, Mikael dan Isabella mencoba meniru cara nenek menanam padi. Langkah demi langkah, mereka semakin terbiasa, meski sesekali oleng karena licinnya lumpur. Terik matahari perlahan membuat mereka lelah, dan setelah beberapa saat, mereka berdua akhirnya duduk di pinggir sawah, meneguk air yang nenek siapkan.


“Kalian istirahat saja dulu,” kata nenek dengan lembut, masih terus menanam dengan cekatan. “Nenek sudah terbiasa dengan ini.”


Mikael dan Isabella saling berpandangan, tersenyum, dan perlahan mulai memahami bahwa desa ini memang menyimpan banyak hal menarik yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Sambil beristirahat di saung kecil di pinggir sawah, Mikael hampir tertidur saat mendengar suara kakaknya.


"Lihatlah Mika, bukit itu indah sekali ya," ujar Isabella dengan mata berbinar, menatap pemandangan perbukitan hijau yang membentang di kejauhan.


Mikael yang setengah mengantuk hanya menyahut pelan, "Hmm... iya, indah..." lalu hampir saja terlelap kembali.


Namun tiba-tiba Isabella mengajaknya dengan antusias, "Ayo, kita ke sana! Aku penasaran."


Mikael mengerang malas sambil bergumam, "Nanti aja, Isa. Aku capek..."


Isabella tak mau menyerah. Dia beralih bertanya pada nenek mereka yang sedang menanam padi, "Nek, boleh tidak kalau kami pergi ke bukit itu sebentar?"


Nenek menoleh, tersenyum sambil memberi isyarat setuju. "Boleh saja, Nak, tapi kalian harus hati-hati, pulanglah sebelum matahari terbenam."


Tanpa menunggu jawaban lagi, Isabella langsung menarik tangan Mikael yang masih malas-malasan berbaring di saung. "Ayo, Mika, jangan malas! Bukit itu pasti seru!"


Mikael mengerang lebih keras saat ditarik oleh kakaknya, "Isa, aduh, aku mengantuk sekali…"


Namun Isabella tak peduli, menarik adiknya untuk bangkit. Meski dengan langkah berat, Mikael akhirnya menyerah dan mengikuti kakaknya.


Perjalanan menuju bukit ternyata lebih menantang daripada yang dibayangkan Mikael. Jalan kecil yang mereka lalui dipenuhi semak-semak lebat dan ranting-ranting tajam yang sesekali menyentuh kulitnya. Setiap langkah terasa sulit, dan beberapa kali Mikael harus menghindari ranting yang hampir menusuk wajahnya. Ia mulai menyesal mengikuti ajakan kakaknya.


"Seharusnya aku sedang tertidur di saung kecil itu sekarang," gerutu Mikael sambil mengusap goresan kecil di lengannya.


Isabella hanya tertawa kecil, terus melangkah dengan semangat. "Oh ayolah Mika, tidak ada yang seperti ini di kota!"


Meski kesal, Mikael tetap mengikuti langkah kakaknya. Dan begitu mereka akhirnya tiba di puncak bukit, semua keluh kesahnya seolah lenyap seketika. Di hadapan mereka terbentang pemandangan yang luar biasa. Hamparan hijau sawah, pepohonan yang menjulang, dan bukit-bukit kecil yang memanjang hingga ke horizon. Udara segar yang lembut menerpa wajah mereka, membawa aroma alam yang menenangkan.


Tiba-tiba, pandangan Mikael tertuju pada pohon jambu batu yang pendek tetapi penuh buah lebat. Pohon itu tumbuh di dekat ujung tebing, dengan dahan-dahan yang menggantung berbuah ranum dan menggoda.


"Wah, Isa! Lihat! Pohon jambunya banyak buahnya!" seru Mikael penuh semangat, wajahnya yang tadi murung kini cerah seketika.


Tanpa pikir panjang, mereka mendekati pohon itu dan memetik beberapa buah jambu yang dekat. "Ini pasti Nenek suka," ujar Isabella sambil tersenyum senang.


Dengan hati-hati, mereka mendekati pohon itu dan mulai memetik beberapa buah jambu. Mikael mengambil satu dan menggigitnya; rasa manis dan segar langsung terasa, menghilangkan semua lelahnya. Namun, perhatian Isabella tertuju pada satu buah jambu yang paling besar di ujung dahan yang menjuntai, tepat di pinggir tebing.


"Isa, hati-hati!" Mikael memperingatkan, melihat kakaknya berusaha menggapai buah yang nyaris tergantung di tepi jurang.


"Tapi yang ini lebih besar dan ranum!" jawab Isabella, tak mengindahkan bahaya. Matanya berbinar, bertekad untuk mendapatkan buah tersebut.


Isabella pun tetap berusaha menggapai jambu besar itu, merayap sedikit lebih dekat ke tepi tebing. Melihat kakaknya kesusahan, Mikael menghela napas pasrah dan akhirnya ikut membantu. Dengan hati-hati, ia meraih tangan Isabella untuk menahan keseimbangan. Namun, saat Isabella hampir berhasil menjangkau buah jambu yang diincarnya, tanah di tepi tebing tiba-tiba retak. Mereka berdua tersentak, dan sebelum sempat melakukan apa pun, tanah di bawah kaki mereka ambruk, membuat keduanya terjatuh ke dalam kehampaan.


Mikael hanya bisa berteriak kaget saat tubuhnya meluncur ke bawah, sementara Isabella memegang erat tangannya. Dunia seolah berputar cepat di sekeliling mereka, bayangan pepohonan dan langit bercampur menjadi satu. Saat mereka akhirnya mendarat, terasa seperti memasuki dunia lain, berbeda dari desa nenek yang baru saja mereka tinggalkan.


────༻ ༺────


Mikael membuka mata perlahan, mendapati dirinya dan Isabella berada di tengah padang rumput yang aneh, dengan langit berwarna biru cerah dan pohon-pohon raksasa yang daunnya berkilauan bak permata. Suasana di sekitar mereka hening, hanya suara angin yang berdesir pelan. Mereka saling berpandangan, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi.


“Isa, kita… ada di mana?” Mikael berbisik, suaranya gemetar antara rasa takut dan heran.


Tiba-tiba, dari balik semak-semak, muncul sosok kecil setinggi lutut Mikael. Bentuk tubuhnya tidak biasa: matanya besar dan tubuhnya miring seperti daun yang tertiup angin. Sosok itu menatap mereka dengan ekspresi terkejut, lalu perlahan mundur sambil berbisik pelan, “Tidak mungkin… manusia? Di sini?”


“Siapa kamu?” tanya Isabella, penasaran. Makhluk kecil itu tampak ragu, tetapi akhirnya memperkenalkan diri, “Namaku Kedabuan. Kalian tidak seharusnya berada di sini… ini sangat berbahaya, terutama karena… karena suatu peristiwa besar akan segera berlangsung. Kalian harus segera pergi sebelum malam tiba.”


Mikael menatap Kedabuan dengan penasaran. “Mengapa? Apa yang akan terjadi di sini? Dan tempat apa ini?”


Kedabuan tampak gelisah, lalu menjelaskan, “Malam nanti ada upacara besar yang berhubungan dengan dunia kami. Tidak semua makhluk di sini bersahabat dengan manusia. Jika kalian tertangkap, kalian mungkin tak akan bisa kembali. Desa kalian akan segera mengadakan perayaan panen, bukan? Itu juga berhubungan dengan dunia kami.”


Isabella tampak tertarik. “Jadi, kita benar-benar di dunia lain?” tanyanya kagum.


Kedabuan mengangguk. “Kalian harus pergi sebelum malam, atau kalian bisa tersesat di sini selamanya,” ucapnya dengan nada serius.


"Namun, kita butuh satu benda penting," ucap Kedabuan sambil melirik penuh arti ke arah Mikael dan Isabella. Wajahnya kecil dan keriput, seolah terbebani oleh ribuan tahun pengetahuan, terlihat berpikir keras dan sedikit khawatir. Mata besar itu menyipit, memperhatikan mereka, lalu menunduk dalam keheningan sejenak.


Isabella menatapnya, penasaran. Kedabuan masih terdiam, namun saat melihat kalung yang tergantung di leher Isabella, sebuah kilauan logam yang memantulkan sinar samar di udara, sorot mata Kedabuan langsung berbinar. Dia tersenyum lega dan tampak sedikit lebih tenang. “Itu dia!” teriaknya, matanya berbinar kegirangan. “Kalung itu bisa menjadi kunci!”


Mikael dan Isabella saling berpandangan, sedikit bingung. "Kunci apa? Mengapa kalung ini penting?" tanya Isabella sambil menyentuh bandul logam yang tergantung di lehernya. Kalung itu berbahan logam berwarna keemasan, bercampur dengan sentuhan perak di bagian sisinya yang melingkar, seolah menyimpan sesuatu yang tidak terlihat.


Kedabuan mengangguk pelan, menjelaskan dengan suara rendah dan penuh kehati-hatian. “Benda berbahan logam, terutama perak atau emas, memiliki kekuatan yang unik di dunia ini. Di dunia kalian, logam mungkin hanya dianggap sebagai hiasan atau tanda kemewahan. Namun di sini, logam adalah penghubung antara dunia kalian dan dunia kami. Logam membawa energi dari alam semesta, menyerap jejak masa lalu dan masa depan, lalu mengalirkannya melalui benda-benda tertentu. Kalungmu itu, misalnya, bisa menjadi pemicu untuk membuka gerbang.”


Isabella dan Mikael yang mendengar hal itu langsung merasa lega. Akhirnya ada harapan bagi mereka untuk kembali ke dunia mereka.


“Kalau begitu, lepaskan kalung itu dan serahkan padaku sebentar,” ujar Kedabuan sambil mengulurkan tangan mungilnya.


Isabella melepas kalungnya dan menyerahkannya pada Kedabuan, yang kemudian mengarahkan mereka ke sebuah pohon besar dengan batang yang tampak lebih kokoh dari pohon lainnya di sekitarnya. Kedabuan memasukkan kalung itu ke dalam sebuah celah kecil di tengah batang pohon. Seketika, dari celah tersebut, cahaya perlahan menjalar ke seluruh bagian pohon, membentuk pola bercahaya yang rumit dan membesar, hingga akhirnya membentuk sebuah portal bercahaya di hadapan mereka.


“Masuklah, ini adalah jalan pulang kalian,” kata Kedabuan sambil tersenyum. “Tapi ingat, kalian harus cepat sebelum cahaya itu memudar.”


Isabella melangkah maju terlebih dahulu, memasuki portal dengan wajah penuh harapan. Sebelum Mikael menyusul, ia menoleh pada Kedabuan dan mengucapkan terima kasih dengan penuh rasa syukur. “Terima kasih, Kedabuan. Tanpa bantuanmu, kami tak akan tahu cara pulang.”


Kedabuan hanya mengangguk dengan senyuman lembut. Mikael kemudian berbalik menuju portal, siap untuk melangkah masuk.


Namun, tepat saat ia hendak memasuki portal, tiba-tiba muncul sesosok makhluk kecil, berbulu yang merayap dari balik pohon. Makhluk itu memiliki tangan yang panjang dan cekatan, serta mata kecil berkilat penuh keusilan. Dalam sekejap, makhluk itu mencuri kalung Isabella dari celah pohon, menariknya dengan cepat dan melesat pergi. Tanpa kalung itu, portal yang tadinya bercahaya terang mulai memudar.


“Tidak!” Mikael berteriak, namun terlambat. Portal itu tertutup tepat di hadapannya, menyisakan keheningan dan bayangan samar dari dunia lain. Ia masih sempat mendengar suara teriakan Isa yang memanggil namanya dari balik portal, namun semuanya terlambat.


Mikael menatap tempat di mana portal itu tadi berada, sekarang hanya tersisa kehampaan dan bayangan samar dari dunia lain. Tanpa Isa di sisinya, rasa takut mulai menyelimutinya. Biasanya, Isabella selalu ada untuk menenangkannya dan memberikan semangat saat mereka tersesat atau menghadapi hal-hal menakutkan. Sekarang, untuk pertama kalinya, ia harus berhadapan dengan situasi ini sendirian.


“Oh, tidak…” gumam Mikael sambil menggigit bibirnya, mengerahkan seluruh keberanian yang ia miliki. Ia menoleh ke arah Kedabuan dengan wajah cemas.


“Kedabun, sesuatu mengambil kalung itu! Bagaimana ini? Bagaimana aku bisa pulang?” Suaranya bergetar, mencerminkan ketakutannya.


Kedabuan tampak kebingungan dan sama-sama gelisah. Mata besarnya memandang Mikael dengan simpati. “Tenang, tenang, Mikael. Aku tahu makhluk yang mengambilnya. Itu pasti Si Lunit! Makhluk licik itu memang suka perhiasan dan benda berkilauan. Tapi… dia bukanlah makhluk yang mudah dikejar.”


“Apakah… apakah aku bisa mengambilnya kembali?” tanya Mikael, berusaha meredam rasa panik.


Kedabuan mengangguk perlahan. “Itu mungkin, tapi sulit. Dia selalu bersembunyi di Hutan Pucuk Merah, di bawah akar-akar pohon beringin besar. Hutan itu… bukan tempat yang aman bagi manusia.”


Mikael menarik napas dalam, menggenggam kedua tangannya untuk menenangkan diri. "Aku harus mengambil kalung itu, Kedabuan. Isa menunggu di sisi lain. Kalau aku gagal, aku mungkin tidak akan pernah bisa pulang."


Kedabuan memandangnya dengan penuh simpati, kemudian menepuk bahu Mikael. "Baiklah. Aku akan menuntunmu sampai perbatasan hutan. Setelah itu, kau harus hati-hati sendiri. Ingat Mikael, kamu harus menemukannya dan kembali ke sini sebelum matahari terbenam."


Mikael menelan ludah, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya meski ia mengangguk perlahan. Tekadnya sudah bulat untuk mencari makhluk itu dan merebut kalung Isabella kembali, tapi bayangan hutan lebat di depan mereka semakin menyempitkan dada.


────༻ ༺────


Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di sebuah sungai yang mengalir deras, menjadi pembatas antara tanah yang mereka pijak dan Hutan Pucuk Merah yang berbahaya. Sungai itu tenang di beberapa bagian, namun arus derasnya terlihat kuat di bagian lain, menciptakan suara gemuruh yang mengintimidasi.


“Ini batasnya, Mikael,” ucap Kedabuan dengan nada serius. “Setelah sungai ini, aku tak bisa ikut lebih jauh. Hati-hatilah, dan ingat, jangan berhenti untuk hal-hal yang tidak perlu.”


Mikael menatap Kedabuan, lalu kembali melihat hutan di depannya. Daun-daun lebat menutupi sinar matahari, menciptakan bayangan-bayangan gelap yang seolah bergerak mengikuti arah pandangnya. Ia menyeberangi sungai dengan langkah hati-hati, merasakan kesejukan air yang membasahi kakinya.


Ketika ia sampai di seberang, Kedabuan sudah tidak terlihat. Ia sekarang sendirian, dikelilingi oleh pepohonan besar dengan batang yang menjulang tinggi dan akar yang menyembul dari tanah seperti tangan yang mencengkram bumi. Cahaya matahari semakin redup karena terhalang kanopi daun yang lebat, dan hawa dingin mulai menyelimuti sekelilingnya.


Mikael menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. Namun, tiap langkah yang ia ambil semakin membuatnya merasa terasing, terutama karena biasanya Isa selalu berada di sisinya dalam situasi sulit seperti ini. Sekarang, tanpa kakaknya, ia merasa sangat kecil di tengah hutan yang tampak begitu besar dan asing.


Saat melangkah lebih jauh, tiba-tiba suara tawa lirih terdengar di belakangnya. Suara itu samar, seperti suara angin, namun cukup membuat bulu kuduknya meremang. Mikael menoleh cepat, tetapi tidak ada apa-apa. Ia mempercepat langkahnya, berharap suara itu hanya khayalannya. Namun, suara tawa itu semakin jelas dan semakin mendekat.


Ketika ia menoleh sekali lagi, dari balik pohon besar, tampak sosok berambut panjang berwarna kusam, wajahnya pucat, dan mata gelapnya menatap Mikael dengan tatapan menyeramkan. Itu adalah Kunti—makhluk gaib yang selama ini hanya ia dengar dalam cerita seram. Sosok itu melayang sedikit di atas tanah, gaunnya putih lusuh dan rambutnya yang panjang menjuntai hingga ke tanah.


“Anak manusia…” suaranya mengalun pelan, mengisi udara dengan getaran menyeramkan. Mikael menahan napas, berharap makhluk itu hanya sebuah bayangan. Namun, suara itu semakin jelas.


“Kau… mencari kalung, bukan?” lanjut Kunti dengan seringai yang lebar.


Mikael membelalakkan mata, terkejut sekaligus bingung. Bagaimana makhluk ini tahu tentang kalungnya?


Kunti menunjuk ke arah sebuah pohon besar dengan lubang hitam di tengahnya. “Aku mendapatkannya dari pencuri kecil. Jika kau ingin kalung itu kembali, masuklah ke rumahku.” Suaranya penuh bujukan, seolah ada janji di dalamnya.


Mikael ragu. Meski merasa curiga, ia berpikir mungkin ini cara tercepat untuk mendapatkan kalungnya kembali. Dengan langkah hati-hati, ia mulai mendekati pohon itu, satu tangan menyentuh dinding pohon besar yang berlubang. Hawa dingin dan lembap menyelimutinya saat ia hampir melangkah masuk. Namun tiba-tiba, terdengar suara burung aneh dari atas pohon. Burung itu kecil, berbulu hitam dengan sorot mata tajam. Paruhnya membuka, dan suara keras keluar darinya, “Lari! Lari! Lari!”


Mikael tersentak. Burung itu terus berteriak memperingatkannya, seolah-olah tahu bahaya yang mengintai. Seketika, ia sadar bahwa ini mungkin jebakan. Tanpa menunggu lebih lama, Mikael mundur cepat dan berbalik, melarikan diri menjauh dari pohon itu. Kunti mengeluarkan suara jeritan marah saat menyadari Mikael melarikan diri, dan segera melayang mengejarnya dengan kecepatan yang tidak terduga. Ranting dan daun-daun terhempas saat Kunti bergerak seperti angin gelap, bayangannya semakin mendekat di belakang Mikael.


Mikael berlari sekuat tenaga, napasnya terengah-engah dan jantungnya berdetak kencang. Ia menyelinap di antara pohon-pohon, mencoba mencari tempat untuk bersembunyi. Namun, Kunti terus mendekat, seringai menyeramkan itu semakin terlihat di balik pepohonan yang dilaluinya. Dalam kepanikan, Mikael tiba-tiba melihat sebuah bunga besar menjulang di depan—bunga bangkai yang tengah mekar, mengeluarkan bau busuk yang menyengat. Tanpa berpikir panjang, ia bergegas bersembunyi di balik bunga itu, berharap baunya akan menutupi keberadaannya.


Kunti melayang semakin dekat, namun ketika ia tiba di sekitar bunga bangkai, raut wajahnya berubah. Ia tampak kesakitan, ekspresinya berubah dari penuh amarah menjadi ketakutan dan jijik. Bunga bangkai itu mengeluarkan bau yang begitu menyengat hingga Kunti tampak terhuyung-huyung, tangannya menutupi hidungnya, dan tubuhnya bergetar seperti terbakar oleh bau busuk itu.


“Argh… bau busuk!” desis Kunti, wajahnya semakin pucat dan penuh kengerian. Bau busuk bunga bangkai itu benar-benar membuatnya kepanasan, seolah-olah bau tersebut adalah racun yang membakar dirinya. Ia terpaksa mundur, menjauh dari bunga itu sambil meringis kesakitan. Akhirnya, dengan jeritan marah yang memekakkan telinga, Kunti melayang pergi, menghilang dalam kabut hutan.


Mikael menghela napas lega, berusaha menenangkan dirinya setelah pengalaman mendebarkan itu. Bau busuk bunga bangkai tetap menyengat hidungnya, tapi setidaknya ia berhasil lolos dari bahaya Kunti. Setelah yakin Kunti sudah benar-benar pergi, ia melanjutkan perjalanannya dengan langkah lebih waspada. Hatinya masih berdegup kencang, namun semangatnya untuk menemukan kalung Isa kembali meningkat.


────༻ ༺────


Berjam-jam kemudian, setelah berjalan melewati pepohonan raksasa dan sungai-sungai kecil, Mikael akhirnya sampai di sebuah tempat yang tampak seperti sarang makhluk pencuri kalung itu. Itu adalah sebuah gua kecil yang tertutup daun-daun besar dan lumut hijau tebal, tersembunyi di antara akar-akar pohon besar, nyaris tak terlihat jika bukan karena jejak-jejak kecil yang menuju ke dalamnya.


Dengan hati-hati, Mikael mengintip ke dalam gua, badan kecilnya memudahkan ia untuk masuk. Di dalam, ia bisa melihat sosok makhluk kecil bertubuh abu-abu, gemuk dan berbulu kasar, dengan mata besar yang berbinar-binar melihat sesuatu di tangannya. Itu adalah kalung Isa—kalung berkilauan yang tampak terlalu besar di tangan makhluk kecil itu. Makhluk tersebut duduk di atas tumpukan dedaunan dan tampak begitu asyik dengan kalung itu, memutarnya sambil menggumam pelan, seolah-olah benda itu adalah harta karun yang sangat berharga baginya.


Mikael merasa kesal namun juga cemas, dan dengan tekad kuat, ia melangkah masuk ke dalam gua. “Hei, itu kalung milik kakakku! Kembalikan sekarang juga!” serunya dengan suara tegas, meski hatinya berdebar kencang.


Makhluk kecil itu menoleh dengan tatapan terkejut, namun segera menyeringai, memperlihatkan deretan gigi kecil yang tajam. Ia memeluk kalung itu lebih erat lagi, seolah-olah berusaha melindungi harta yang baru saja ia dapatkan. “Kalung ini milikku sekarang!” sahutnya dengan suara kecil namun penuh ketegasan. Matanya menyala penuh kepemilikan.


Mikael mencoba meredakan emosinya dan mendekati makhluk itu dengan hati-hati. “Dengar, aku sangat membutuhkannya. Itu milik kakakku, dan tanpa kalung itu, aku tidak bisa kembali ke duniaku,” ujarnya, mencoba terdengar lebih tenang.


Namun makhluk kecil itu menggeleng keras, mengelus-elus kalung itu dengan sayang. “Tidak, tidak! Kalung ini… sangat cantik! Sangat bersinar! Aku tidak akan memberikannya padamu, manusia!” Makhluk itu kembali mendekap kalungnya erat, seakan takut Mikael akan merenggutnya kapan saja.


Merasa putus asa, Mikael mencoba merebut kalung itu dengan cepat. Tangannya bergerak ke arah kalung, namun makhluk itu langsung menghindar dengan lincah, melompat ke sisi lain gua. Mikael menggeram dan mencoba mendekati makhluk itu lagi, namun setiap kali ia mendekat, makhluk itu bergerak lebih cepat, menghindar seperti seekor tikus kecil yang licin.


“Berhenti bermain-main! Aku benar-benar butuh kalung itu!” teriak Mikael, merasa frustrasi. Ia berusaha meraih kalung itu lagi, namun makhluk tersebut tidak menyerah begitu saja. Ia mencengkeram kalung itu lebih kuat dan mulai menjerit-jerit, berusaha menarik kalung itu agar tetap dalam genggamannya.


Mikael tidak punya pilihan lain. Ia memegang kalung itu di ujung yang lain, sehingga keduanya terlibat dalam tarik-menarik yang sengit. Makhluk kecil itu mengerahkan seluruh kekuatannya, bahkan menggeram kesal dan mencakar tangan Mikael dengan kuku-kukunya yang tajam. Meski lukanya tidak serius, rasa perih tetap membuat Mikael meringis, namun ia tidak mau menyerah.


“Lepaskan!” makhluk itu menjerit dengan suara tajam, tangannya semakin erat mencengkeram kalung. Mikael tetap bertahan, berusaha menarik kalung itu ke arahnya sambil berkata dengan nada memohon, “Aku tidak mau menyakitimu, tapi aku butuh kalung ini! Kumohon… izinkan aku membawa kalung ini kembali!”


Namun, makhluk itu tampaknya tidak mendengar atau tidak peduli. Dalam posisi mencengkram kalung dan terengah-engah, matanya melotot penuh tekad dan rasa memiliki. Pertarungan sengit itu berlangsung semakin keras. Keduanya saling tarik-menarik, terdorong ke kanan dan ke kiri, membuat daun-daun dan tanah di sekitar mereka berhamburan.


Di tengah perlawanan itu, Mikael merasakan tenaganya mulai melemah. Keringat mengalir di dahinya, dan tangannya mulai gemetar. Namun, tepat saat ia hampir kehilangan harapan, ia menangkap tatapan makhluk kecil itu yang tiba-tiba tertuju pada sesuatu di kantong celananya. Makhluk itu terdiam sejenak, mengendurkan cengkeramannya, dan menatap buah jambu yang terselip di kantong celana Mikael dengan mata berbinar penuh keinginan.


Mikael menyadari perubahan itu dan segera mengeluarkan buah jambu dari kantongnya, mengacungkannya ke arah makhluk kecil tersebut. “Kau mau ini?” tanyanya dengan suara yang sengaja ia buat menggoda. “Aku bisa memberikannya padamu, kalau kau menukar kalung itu denganku.”


Makhluk itu langsung terdiam, terpaku pada buah jambu yang tampak segar dan ranum di tangan Mikael. Ia melirik kalung di tangannya, tampak ragu sejenak. Namun, nafsunya pada buah jambu itu tampak terlalu besar untuk dilawan. Ia akhirnya mengangguk kecil, mengulurkan kalung ke arah Mikael dengan satu tangan, sementara tangan lainnya siap meraih buah jambu.


Dengan hati-hati, Mikael menyambut kalung itu dan menyerahkan buah jambu kepada makhluk kecil tersebut. Makhluk itu langsung menyambar buah jambu dan menggigitnya dengan lahap, terlihat sangat puas dengan pertukaran itu. Mikael menghela napas lega, merasa seperti beban berat telah terangkat dari pundaknya saat kalung itu kembali berada di genggamannya.


Tanpa menunggu waktu lagi, Mikael menyelipkan kalung itu di sakunya dan berlari secepat mungkin keluar dari gua, meninggalkan makhluk kecil itu yang sibuk dengan buah jambunya. Hatinya dipenuhi perasaan lega dan tekad kuat untuk segera kembali ke pohon portal sebelum matahari benar-benar terbenam.


Namun, meskipun hatinya lega, Mikael tidak bisa begitu saja melupakan ancaman yang baru saja ia hadapi. Kunti, makhluk jahat dengan kekuatan yang belum sepenuhnya ia pahami, bisa saja muncul lagi dan membuat perjalanannya semakin sulit. Mikael menyadari bahwa jika ia melalui jalan yang sama, ia mungkin akan bertemu dengan Kunti lagi. Ia perlu mencari jalan lain untuk menghindari makhluk tersebut.


Dengan tekad yang lebih kuat, Mikael berbalik dan memutuskan untuk mencari jalan yang berbeda. Ia memasuki jalur sempit yang dibingkai dengan tanaman merambat, yang tampak tidak pernah dilalui siapa pun sebelumnya. Pemandangan di sekitar semakin asing, dengan suara-suara hutan yang semakin nyaring, membuat suasana semakin mencekam. Di atas kepalanya, cabang-cabang pohon besar bersilangan, hampir menutup langit, meninggalkan hanya sedikit cahaya yang tembus. Suara burung aneh dan makhluk-makhluk lain yang berkicau di kejauhan hanya menambah suasana yang misterius.


Namun, ia tidak takut. Setiap langkahnya semakin pasti, meskipun rasa khawatir tetap membayangi. Saat ia melangkah lebih jauh, ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda di udara—sesuatu yang mengarah pada perasaan bahwa ia sedang dibuntuti. Mikael mendengar suara kaki-kaki kecil, seperti berlari, dan sesekali terasa ada hembusan angin dingin yang bergerak cepat di sekitar tubuhnya.


Mikael menahan napas, berhenti sejenak dan mengintip ke belakang. Dari balik bayang-bayang pepohonan, sosok itu muncul—Kunti. Ia berdiri di sana, hanya beberapa langkah di belakang Mikael, menyeringai dengan bibir yang tertarik ke atas. “Kau pikir bisa menghindari ku?” katanya dengan suara yang bergetar, namun penuh ancaman. "Aku tak akan membiarkanmu pergi begitu saja."


Mikael merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia tahu ia harus bertindak cepat. Tanpa pikir panjang, ia berlari lagi, melintasi jalur sempit itu, berusaha mengecoh Kunti. Ia berbelok tajam, berlari menuju arah yang lebih gelap, berlari melalui semak belukar yang berduri, berusaha mempercepat langkahnya. Setiap kali ia menoleh, Kunti semakin dekat, mengikutinya dengan langkah yang penuh tekad, meskipun tubuhnya yang tinggi dan ramping itu tampak melayang, bergerak tanpa suara di udara.


Namun, saat Mikael semakin mendekati perbatasan hutan, ia melihat sesuatu yang sangat diharapkannya—sebuah sungai lebar yang memisahkan dua wilayah hutan.


Mikael tiba di tepi sungai, terengah-engah, matanya penuh tekad. Begitu ia menoleh ke belakang, Kunti sudah berhenti di sisi sungai, berdiri dengan tangan terentang seolah hendak menyentuhnya. Namun, ia tampak terhambat, matanya penuh kemarahan dan kebencian, namun tak dapat melintasi air yang menghalanginya.


Mikael tersenyum tipis, sedikit terengah, meskipun rasa khawatir belum sepenuhnya hilang. Ia menatap Kunti yang sepertinya tak bisa bergerak lebih jauh. “Oh, tidak bisa menyeberang, ya?”


Mikael berkata dengan nada mengejek, sedikit melirik ke arah makhluk itu. "Ternyata kau juga punya batasan, Kunti. Aku pikir kau bisa segalanya."


Kunti membalas dengan tatapan penuh kebencian, namun ia tidak bisa berkata apa-apa. Mikael tahu ia tidak akan mampu mengejarnya lebih jauh, apalagi menyeberangi sungai yang lebar. Kunti hanya bisa berdiri di sana, seolah terperangkap, dan di balik mata hitamnya, Mikael bisa merasakan amarah yang membara.


Dengan satu langkah tegas, Mikael berbalik dan melanjutkan perjalanannya menuju pohon besar yang menjadi gerbang. Tanpa menoleh lagi, ia melangkah dengan cepat, melompati batu-batu besar yang menonjol di permukaan air sungai. Begitu sampai di seberang, ia tidak langsung menuju pohon. Ia berhenti sejenak, menghela napas lega dan tertawa kecil, melirik kembali ke arah Kunti yang semakin kecil dari kejauhan.


Dari kejauhan, Mikael bisa melihat pohon besar yang menjadi gerbang dunia lain, dan di bawahnya, sosok kecil yang tampak menunggu dengan penuh kecemasan—itu adalah Kedabuan. Ekspresi wajah makhluk kecil itu langsung berubah, seolah-olah beban berat telah terangkat begitu melihat Mikael muncul di seberang sungai.


Kedabuan melompat kegirangan, matanya berbinar dengan jelas menunjukkan kelegaan yang mendalam. "Kau... kau berhasil!" serunya, hampir berteriak dengan penuh kebahagiaan, tetapi juga dengan sedikit cemas karena melihat waktu yang semakin menipis. "Aku benar-benar khawatir, Mikael. Matahari hampir tenggelam."


Mikael mendekat dengan senyuman lebar, merasakan kegembiraan yang mengalir dalam dirinya. Ia berhenti beberapa langkah di depan Kedabuan, matanya memandang pohon besar di belakang makhluk kecil itu. Tanpa banyak bicara, Mikael hanya mengangguk, meskipun senyumnya tetap terjaga, "Aku berhasil".


Kedabuan menghela napas lega. "Aku tahu kamu pasti bisa. Lalu, ayo cepat! Kita harus segera membuka portalnya sebelum semuanya terlambat."


Mikael mengeluarkan kalung dari kantongnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi di hadapan Kedabuan. Tanpa menunggu lebih lama, Kedabuan melompat kecil dan segera mendekat. Ia menyentuh batang pohon besar itu dengan tangannya yang kecil, lalu dengan cepat menempelkan kalung Mikael ke permukaan kayu yang licin. Sebuah cahaya terang menyembur keluar dari pohon, meluncur seperti api yang menyala, dan membentuk sebuah portal yang bersinar di depan mereka.


Portal itu bergetar seiring dengan arus cahaya yang semakin terang, dan seiring suara gemuruh yang datang dari dalamnya, Mikael merasa sebuah dorongan kuat yang mengingatkannya akan petualangan yang telah ia lewati. Waktu sudah sangat mendesak, dan jika ia tidak melangkah sekarang, kemungkinan untuk pulang akan hilang selamanya.


Kedabuan menatap Mikael dengan ekspresi serius, meskipun wajahnya masih tampak cerah. "Cepat, Mikael. Jangan ragu. Ini adalah kesempatanmu untuk kembali."


Mikael menatap portal yang ada di depan matanya, merasakan perasaan campur aduk—gembira, lega, namun juga sedikit takut. Apakah ia benar-benar siap untuk meninggalkan dunia ini dan kembali ke dunia nyata?


"Terima kasih, Kedabuan," kata Mikael dengan tulus, menyentuh kepala makhluk kecil itu dengan lembut. "Tanpa bantuanmu, aku takkan bisa sampai sejauh ini."


Kedabuan tersenyum dan memeluk Mikael dengan hangat. "Jaga dirimu baik-baik, Mikael. Dunia ini akan selalu mengingatmu."


Mikael mengangguk, melepaskan pelukan itu, dan melangkah maju menuju portal yang terbuka lebar. Ia tidak menoleh lagi, membiarkan dirinya tenggelam dalam cahaya yang membawanya pulang, ke dunia yang sudah lama ingin ia tuju. Dengan satu langkah terakhir, Mikael melangkah masuk ke dalam portal, meninggalkan dunia penuh keajaiban dan makhluk-makhluk aneh yang telah menjadi bagian dari petualangannya. 








Postingan populer dari blog ini

Analisis Unsur Intrinsik "The Birds" by Daphne du Maurier

Creative Writing UAS (Copywriting)

Whispers of Time (Creative Writing)